PENDUDUK, MASYARAKAT, DAN KEBUDAYAAN

1        PERKEMBANGAN PENDUDUK DUNIA
Tercatat dalam Worldometers, jumlah penduduk dunia pada 2019 mencapai 7,7 miliar jiwa. Angka tersebut merupakan 1,08% peningkatan dari tahun 2018 yang jumlah penduduknya 7,6 miliar jiwa. Selama 10 tahun terakhir terjadi peningkatan stabil pertumbuhan penduduk dunia dengan presentase 1~1,2% tiap tahun.

I.                   PENGGANDAAN PENDUDUK
Tahun penggandaan
Perkiraan penduduk dunia
Waktu
800 SM
5 juta
-
1650
500 juta
1500
1830
1 miliar
180
1930
2 miliar
100
1975
4 miliar
45

Waktu penggandaan penduduk dunia selanjutnya diperkirakan 35 tahun. Penambahan penduduk di suatu daerah atau negara pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor demografi sebagai berikut :
  1. Kematian (Mortalitas)
Ada dua tingkat kematian yang akan dijelaskan disini, antara lain:
a.       Tingkat kematian kasar
Adalah banyaknya orang yang meninggal padasuatu tahun per jumlah penduduk pertengahan tahun tersebut, dinyatakan tiap 1000 orang.
Penduduk pertengahan tahun dapat dicari dengan rumus :
Pm =
P1 =
P2 =
Pm = jumlah penduduk pertengahan tahun
P1 = jumlah penduduk awal tahun
P2 = jumlah penduduk akhir tahun
Contoh :
Jika daerah X pada tanggal 31 desember 1980 mempunyai penduduk 550 orang dan pada tanggal 31 desember 1981 mempunyai penduduk 650 orang, maka jumlah penduduk pada pertengahan tahun 1981 berjumlah :
                                               
Apabila pada tahun 1981 di daerah X ada 12 orang yang meninggal dunia, maka :
                                   
Jadi pada tahun 1981 di daerah X tiap 1000 penduduk terdapat kematian sejumlah 20 orang meninggal dunia.
b.      Tingkat Kematian Khusus
Umur, jenis kelamin, pekerjaan juga menjadi salah satu faktor penyebab kematian. Contohnya laki laki berumur 85 tahun mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mati daripada yang berumur 25 tahun. Laki laki yang berada di medan perang lebih berkemungkinan mati daripada istri mereka yang berada dirumah.

Di = Kematuan penduduk kelompok umur i
Pm = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun kelompok umur i
K = Konstanta (= 1000)

  1. Fertilitas (kelahiran hidup)
Pengukuran fertilitas tidak semudah mortalitas karena:
1.      Sulit memperoleh angka statistik lahir hidup karena banyak bayi bayi yang meninggal beberapa saat setelah kelahiran, dan dicatatkan sebagai lahir mati
2.      Wanita mempunyai kemungkinan melahirkan dari seorang anak
3.      Makin tua umur wanita tidak memungkinkan menurunnya kemungkinan memiliki anak.
4.      Pengukuran fertilitas akan melibatkan satu orang saja. Tidak semua wanita mempunya kemungkinan untuk memiliki anak.
Ada dua istilah asing yang kedua-duanya diterjemahkan sebagai kesuburan.
  1. Facundity (kesuburan)
Kemampuan biologis wanita untuk mempunyai anak
  1. Fertility
Adalah jumlah kelahiran hidup dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Yang dimaksud dengan lahir hidup adalah kelahiran dengan tanda-tanda kehidupan seperti bernafas, bergerak, menangis.



General Fertility Rate (GFR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah kelahiran per 1000 wanita usia produktif. Wanita yang berumur produktif antara lain 15~44 tahun atau antara 15~49 tahun.
Untuk menghitung angka kelahiran ini diperlukan jumlah penduduk wanita usia produktif.

Studi Kasus :
Di Indonesia jumlah wanita dalam usia subur (15~49) tahun 2018 sekitar 23530 dan jumlah kelahiran sekitar 2985, sehingga
Contoh GFR beberapa negara :
Thailand 234,8
Brunei 234,4
Swedia 61,1
Jepang 62,2
Age Specifig Fertility Rate (ASRF) Tingkat kelahiran khusus
ASRF menunjukkan banyaknya kelahiran menurut umur dari wanita yang berada dalam kelompok umur 15~49 tahun. Ukuran ini lebih baik daripada ukuran di atas, karena pengaruh variasi kelompok umur dapat dihilangkan. Makanya ada perbedaan yang jelas mengenai fertilitas wanita tiap kelompok interval 5 tahun, rumusnya sebagai berikut:

Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif atau batas negara.

Macam macam migrasi :
  1. Migrasi Nasional
Perpindahan penduduk di dalam suatu wilayah negara yang dilakukan dengan tidak adanya keterpaksaan dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Contoh proses : Seseorang yang berasal dari kampung atau pedesaan bermigrasi ke kota besar seperti Jakarta untuk mencari pekerjaan.
  1. Migrasi Internasional
Perpindahan yang dilakukan oleh masyarakat dari menjadi penduduk negara ke negara yang lainnya.
Contoh proses : Seseorang warga negara indonesia bermigrasi menjadi Warga negara Jerman dan menetap.
Akibat Migrasi
a.       Urbanisasi (migrasi dari desa ke kota) dapat mempengaruhi pola distribusi penduduk secara keseluruhan. Para urbanit kebanyakan terdiri dari golongan muda yang sangat produktif serta memiliki banyak inisiatif. Dan memungkinkan pertumbuhan penduduk yang pesat di sebuah kota.
b.      Migrasi Interegional di Indonesia yang dilakukan oleh mereka yang berumur produktif memungkinkan tingginya angka pertumbuhan penduduk serta tingkat laju pembangunan di luar jawa. Di DKI jakarta sebagai akibat dari adanya migrasi interegional pertumbuhannya menjadi sangat cepat sehingga pada tahun 2000 penduduknya menjadis ekitar 16,6 juta jiwa.
c.       Migrasi antar negara di Indonesia, berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 1971 sampai dengan 1980 migrasi masuk ada sekitar 0,61% sedangkan migrasi ke luar sebesar 0.57% per tahun.






Struktur penduduk
  1. Piramida penduduk muda
Piramida ini menggambarkan komposisi penduduk dalam pertumbuhan atau sedang berkembang. Jumlah angka kelahiran lebih besar daripada jumlah kematian, biasa terjadi di negara berkembang, contoh : India, Indonesia
  1. Piramida Stasioner
Bentuk piramida ini menggambarkan keadaan penduduk tetap sebab tingkat kematian rendah dan kelahiran tidak tinggi, biasa terjadi pada negara maju, contoh : Swedia, Blanda, Skandinavia


  1. Piramida penduduk tua
Bentuk piramida penduduk ini menggambarkan adanya penurunan tingkat kelahiran yang sangat pesat dan tingkat kematian kecil sekali, apabila keahiran pria besar, maka suatu negara bisa kekurangan penduduk. Contohnya terjadi pada : Jerman, Inggris


Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio)
Rasio Ketergantungan ialah angka yang menunjukkan perbandingan jumlah penduduk golongan umur yang belum produktif dan sudah tidak produktif kerja lagi dengan jumlah penduduk golongan umur kerja biasanya dinyatakan dalam persen. Batas golongan umur produktif kerja (aktif ekonomi) masing-masing negara berbeda, biasanya terletak antara 15~65 tahun, dengan demikian dapat dirumuskan sebagai berikut.

Studi Kasus :
Rasio ketergantungan indonesia pada tahun 1976 adalah :
Makin tinggi jumlah penduduk usia muda dan tua, makin besar rasio ketergantungannya.
DR < 62,33 % adalah baik, sedangkan DR > 62,33% adalah buruk,
Penggolongan menurut DW Sleumer :
            0 ~ 14 : belum produktif
            15 ~ 19 : kurang produktif penuh
            20 ~ 54 : produktif
            55~64 : tidak produktif penuh
            65 keatas : inproduktif

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN BUDAYA
Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya di Indonesia tentu terjadi dengan sangat cepat, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dan hal itu juga menyebabkan keanekaragaman yang beragam di Indonesia. Kebudayaan dapat di definisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan menusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya serta dijadikan pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan menggunakan simbol simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun tidak terucap.
  1. Kebudayaan Hindu dan Budha
Pada abad ke-3 dan ke-4 agama Hindu masuk ke indonesia, khususnya ke pulau jawa, perpaduan atau akulturasi antara kebudayaan setempat dengan kebudayaan hindu yang berasal dari india itu berlangsung secara mulus.
Sekitar abad ke-5 ajaran budha atau budhisme masuk ke indonesia khususnya ke pulau Jawa. Agama Budha dapat dikatakan berpandangan lebih maju daripada Hindu karena Budha tidak menghendaki kasta-kasta dalam masyarakat.
Kedua budaya tersebut juga menghasilkan peninggalan peninggalan berupa seni dan sastra yang masih ada hingga saat ini, contohnya adalah Candi Borobudur, yaitu candi Budha terbesar di Asia Tenggara.


  1. Kebudayaan Islam
Pada abad ke 15 dan 16, agama islam telah dikembangan di indonesia. Oleh para pemuka islam yang disebut Wali Sanga. Titik pusat agama islam masuk ke indonesia berada di pulau jawa, sebenarnya agama islam masuk ke indonesia sudah dari sebelum abad ke 11 oleh seorang wanita islam yang meninggal dan dimakamkan di kota Gresik.
Masuknya Agama Islam ke Indonesia terutama di pulau jawa berlangsung dengan sangat damai, hal ini disebabkan karena islam dimasukkan ke indonesia tidak dengan secara paksa melainkan dengan cara baik. Dan mulai berkembang lebih pesat lagi pada akhir abad ke 15 dimana itu adalah saat kerajaan Majapahit sudah mulai goyah pada zaman itu.
Agama Islam berkembang pesat di Indonesia dan menjadi agama yang mendapat penganut terbesar penduduk Indonesia.
  1. Kebudayaan Barat
Unsur kebudayaan juga memberi warna terhadap corak lain dari kebudayaan dan kepribadian bangsa Indonesia adalah kebudayaan barat. Awal kebudayaan barat masuk ke indonesia adalah ketika masa masa kolonialis atau masa penjajahan oleh bangsa Belanda. Mulai dari penguasaan dan kekuasaan perusahaan dagang belanda (VOC) dan berlanjut dengan pemerintahan kolonial belanda di kota, propinsi, kabupaten, yang juga menghasilkan bangunan gaya arsitektur barat.
Meskipun Indonesia telah melepaskan diri dari penjajahan dan merdeka, tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia akan dijajah lagi dikemudian hari, terutama penjajahan melalui budaya.

Kasus: Permukiman Kumuh di Pusat Kota
Perkembangan suatu kota membawa berbagai macam dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri, salah satunya dampak akan tingginya arus urbanisasi. Dampak dari tingginya arus urbanisasi selalu berkaitan dengan permukiman kota. Tingginya jumlah penduduk yang di pusat kota yang notabenenya pusat kota merupakan pusat dari kegiatan kota, mengharuskan terpenuhinya kebutuhan akan permukiman yang layak huni, khususnya bagi kaum urbanis yang pekerjaannya terkonsentrasi pada pusat kota. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap serta kemudahan jangkauan tempat kerja di pusat kota inilah yang menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk bermukim di kawasan tersebut. Kondisi seperti ini juga terjadi di Kota Salatiga, terutama di kawasan CBD (Central Bussiness District) kota yang berada dekat dengan kawasan permukiman Puncuran yang terletak di sekitar koridor Jl. Jend. Sudirman yang merupakan pusat Kota Salatiga. Kawasan ini terletak di Bagian Wilayah Kota I (BWK I) dimana kawasan ini diperuntukan bagi aktivitas perdagangan dan jasa, selain juga kegiatan pemerintahan dan perkantoran.

Populasi penduduk di pusat kota Salatiga memang tergolong tinggi akibat proses urbanisasi dan kebanyakan dari urbanis yang datang adalah mereka yang ingin berjualan di pasar serta sebagian besar dari mereka tergolong masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Secara tidak langsung para urbanis tersebut membutuhkan permukiman yang paling dekat dengan pusat perdagangan. Perkembangan kebutuhan hunian di pusat kota Salatiga tersebut kurang diimbangi oleh ketersediaan lahan, sehingga dengan terus meningginya arus urbanisasi mengakibatkan penambahan jumlah hunian yang dilakukan oleh para urbanis cenderung mengabaikan aturan-aturan dasar tentang pengadaan bangunan rumah, bahkan karena keterbatasan lahan tersebut terdapat sebagian dari mereka yang menggunakan sebagian badan jalan untuk mendirikan bangunan yang dijadikan sebagai tempat tinggal maupun usahanya. Akibatnya adalah permukiman di pusat kota tersebut menjadi kumuh dan suasana yang tidak tertib yang berakibat pada berubahnya kualitas lingkungan fisik kawasan.

Menurut Khomarudin (1997: 83-112), lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai kawasan yang lingkungan berpenghuni padat (melebihi 500 0rg/Ha), kondisi sosial ekonominyamasyarakatnya rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar. Kawasan permukiman Puncuran ini memang kawasan yang terpadat di Kota Salatiga dan Pemerintah Daerah sudah memberikan banyak sekali bantuan dana dan melaksanakan program-program yang berhubungan dengan menajemen kota dalam penataan kawasan ini tiap tahunnya. Akan tetapi kawasan ini tidak menunjukkan perubahan yang berarti dan masih berkesan kumuh dan kualitas lingkungannya pun tetap buruk. Adapun pembahasan ini terkait pada bagaimana peran pemerintah dalam penyediaan hunian bagi penduduk kota sehingga kemungkinan munculnya permukiman kumuh di suatu kota dapat diminimalisir karena pada dasarnya penyediaan permukiman pemerintah harus ditujukan untuk penduduk dengan berbagai kalangan di suatu kota. Namun dalam pembahasan kali ini, lebih mengerucut pada studi kasus penyediaan rumah bagi penduduk yang berada di permukiman kumuh dengan karakteristik penduduk yang berpenghasilan menegah ke bawah.

Dalam konteks manajemen kota, hampir setiap kota mempunyai permasalahan akan permukiman kumuh dan hal tersebut memang rentan terjadi, begitu pula yang terjadi di pusat kota Salatiga. Permasalahan ini telah menjadi sorotan pemerintah sejak dulu. Terdapat perubahan tahapan dalam menangani masalah permukiman kota dari sudut pandang pemerintah di negara berkembang yang menghadapi pertumbuhan populasi yang tinggi dan masalah permukiman kumuh.

Solusi untuk permasalahan pemukiman kumuh adalah pemerintah lebih memerhatikan pemukiman penduduk lagi dan menyediakan pemukiman yang layak dan nyaman bagi penduduk. Dan adanya kesadaran penduduk juga untuk membantu penyelenggaraan penataan pemukiman karena pemerintah telah melaksanakan penataan pemukiman terdiri dari: 1.Tahap I (Tahun 1950 - 1960-an) :

Pemerintah negara berkembang hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi semestinya tumbuh dan pendapatan semestinya meningkat. Pada tahapan ini pemerintah masih tidak mempunyai aksi, hanya menganggap permasalahan permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi saja.

2.Tahap II (Tahun 1960-1970-an) :

Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dilihat sebagai masalah sosial. Pada tahapan ini pemerintah mengerahkan institusi dan dana untuk pembangunan public housing (misal : rumah susun) dan permukiman kumuh (slum area) dilenyapkan (salah satunnya dengan cara penggusuran).

3.Tahap III (Tahun 1970-1980-an) :

Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dapat dianggap sebagai permukiman permanen dari kota (kondisi ini dianggap bahaya yang jika tidak ditangani). Pada tahapan ini pemerintah yang pada umumnya ingin eksistensi negara berkembang menjadi negara maju mengadakan adanya program rumah inti (site and service program).

4.Tahap IV (Tahun 1980-1990-an) :

Pemerintah sudah sadar bahwa bahwa penduduk yang tinggal di pemukiman informal telah berkontribusi banyak untuk ekonomi kota dengan apa yang disebut sebagai sektor informal, seperti penyediaan tenaga kerja (buruh) dan barang murah. Pada tahapan ini pemerintah lebih meningkatkan program pada tahapan III untuk merealisasikannya, tidak perlu melalui proses penggusuran.

5.Tahap V (Tahun 1990-sekarang) :

Pemerintah sudah menyadari bahwa perlu adanya institusi atau kelembagaan khusus yang memikirkan proses di tahap IV agar dapat terakomodasi, salah satunya yaitu pemerintah harus memberikan tindakan yang berorientasi dalam mendukung kegiatan/ usaha para penghuni permukiman informal. Pada tahapan ini pemerintah memastikan adanya sumber daya untuk membangun rumah tersedia dan terjangkau untuk semua kalangan (khususnya bagi para penghuni perumahan informal yang tergolong masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah)












Comments